Selasa, 12 April 2016

Makalah Orientasi Kurikulum Pendidikan Jasmani

Orientasi Kurikulum Pendidikan Jasmani
Oleh Kelompok 11
Duarsyah dan M. Ali Mirwansyah.
(Program Pasca Sarjana Unsri Pendidikan Olahraga)
Abstrak: Orientasi pengembangan kurikulum diartikan sebagai sebuah arah atau pendekatan yang memiliki penekanan tertentu pada suatu hal dalam mengembangkan kurikulum baik bagi para pengembang kurikulum maupun para pelaksana di sekolah pengembangan kurikulum berdasarkan disiplin ilmu merupakan refleksi dari model orientasi posisi transmisi ini lebih merinci setiap mata pelajaran
Kata Kunci: Orientasi dan Kurikulum

Pendahuluan
1.        Konsep Pendidikan Jasmani
Pendidikan pada dasarnya merupakan upaya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM), walaupun usaha pengembangan SDM tidak hanya dilakukan melalui pendidikan khususnya pendidikan formal (sekolah). Tetapi sampai saat ini, pendidikan masih dipandang sebagai sarana dan wahana utama untuk pengembangan SDM yang dilakukan dengan sistematis, programatis, dan berjenjang (Mustakim, 2008).
Pendidikan jasmani dan olahraga merupakan dua istilah yang di Indonesia penggunaannya sering silih berganti. Olahraga merupakan istilah asli Indonesia yang sebetulnya mirip dengan pengertian pendidikan jasmani “physical education”, hanya saja penggunaan istilah olahraga lebih banyak di lingkungan masyarakat, sedangkan Pendidikan jasmani (physical education) penggunaannya lebih banyak di lingkungan persekolahan.
Olahraga merupakan bagian dari kehidupan masyarakat yang mencerminkan nilai dan juga sebagai komponen budaya. Olahraga dianggap sebagai pengejawantahan cara hidup nyata, dan wahana bagi anak muda untuk belajar nilai-nilai inti. Prof. Riysdorp, (dalam Lutan 2004) mengatakan bahwa konsep olahraga yang dianut oleh bangsa Indonesia sangat tepat. Olahraga, kata Riysdorp, terdiri dari dua kata, “olah” dan “raga”. Olah, seperti lazim digunakan untuk menyebut proses mengolah tanah dalam pertanian, atau mengolah bahan makanan sehingga menjadi lezat, setara dengan kata “cultivization” dalam bahasa Inggris, yang maknanya dekat sekali dengan makna kata “education” yang diterjemah ke dalam bahasa Indonesia, bermakna pendidikan.
Selanjutnya kata raga lebih menunjuk kepada makna luas, kesatuan jiwa dan raga, yang bersandar pada filsafat monism. Karena itu di bagian lain Risydorp menjelaskan misi pendidikan jasmani merupakan proses pembinaan dan sekaligus pembentukan yang diungkapkannya dalam istilah forming yang arti secara utuhnya sama dengan pengertian dari kata educating dalam istilah Physical  Education.
Implikasi dari pandangan tersebut adalah kita sering menjumpai pengertian pendidikan sebagai proses pengalihan nilai budaya dari generasi tua ke generasi muda. Upaya sadar dan sengaja serta bertujuan itu dimaksudkan untuk mengalihkan dan sekaligus menanamkan makna hidup yang baik, yang diangkat dari kepercayaan dan keyakinan masyarakat yang sangat mendasar tentang hakikat dunia, pengetahuan dan nilai.
Pendidikan jasmani merupakan terjemahan dari physical education. Penafsiran dan implementasi pendidikan jasmani di sekolah seringkali terjadi perbedaan. Tafsiran pertama, sering disebut sebagai pandangan tradisional, menganggap bahwa pendidikan jasmani hanya semata-mata mendidik jasmani atau sebagai pelengkap, penyeimbang, atau penyelaras pendidikan rohani manusia. Menurut pandangan ini, pelaksanaan pendidikan jasmani cenderung mengarah kepada upaya memperkuat badan; memperhebat keterampilan fisik, atau kemampuan jasmaniahnya saja. Bahkan lebih dari itu, pelaksanaan pendidikan jasmani ini justru sering kali mengabaikan kepentingan jasmani itu sendiri, seperti penggunaan obat-obat terlarang untuk meraih performa yang lebih baik.

Namun berdasarkan sudut pandang pendidikan, pandangan ini tidak mendapat pengakuan. Analisis kritis dan pertimbangan logis ternyata kurang mendukung terhadap pandangan dikhotomi tersebut. Fakta dan temuan lapangan cenderung memperkuat pandangan yang bersifat holistik. Pandangan holistik mengganggap bahwa manusia bukan sesuatu yang terdiri dari bagian-bagian yang terpilah-pilah. Manusia adalah kesatuan dari berbagai bagian yang terpadu.
Oleh karena itu pendidikan jasmani tidak dapat hanya berorientasi pada jasmani saja atau hanya untuk kepentingan satu komponen saja. Sebagaimana disebutkan dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP, 2006), sebagai berikut pendidikan jasmani olahraga dan kesehatan merupakan bagian integral dari pendidikan secara keseluruhan, bertujuan untuk mengembangkan aspek kebugaran jasmani, keterampilan gerak, keterampilan berfikir kritis, keterampilan sosial, penalaran, stabilitas emosional, tindakan moral, aspek pola hidup sehat dan pengenalam lingkungan bersih melalui aktivitas jasmani, olahraga dan kesehatan terpilih yang direncanakan secara sistematis dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional. Apabila definisi pendidikan jasmani ini dielaborasi dan dikaitkan dengan kurikulum pendidikan jasmani yang berlaku di Indonesia dewasa ini (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan/KTSP), penulis sering mengilustrasikannya seperti dalam gambar berikut ini.
Pendidikan jasmani adalah pendidikan melalui dan tentang aktivitas fisik atau dalam bahasa aslinya adalah Physical education is education of and through movement. Terdapat tiga kata kunci dalam definisi tersebut, yaitu 1) pendidikan (education), yang direfleksikan dengan kompetensi yang ingin diraih siswa 2) melalui dan tentang (through and of), sebagai kata sambung yang menggambarkan keeratan hubungan yang dinyatakan dengan berhubungan langsung dan tidak langsung dan 3) gerak (movement), merupakan bahan kajian (aktivitas permainan, aquatik, rithmik, uji diri, dsb) sebagaimana tertera dalam kurikulum pendidikan jasmani.
Berdasarkan definisi tersebut cukup jelas bahwa posisi movement atau dalam kurikulum disebut bahan kajian yang terdiri dari tujuh bahan kajian (aktivitas permainan dan olahraga, aktivitas pengembangan, aktivitas uji diri/senam, aktivitas ritmik, aktivitas air/aquatic, aktivitas luar kelas, dan kesehatan), dapat ditempatkan sebagai alat atau tujuan. Bahan kajian ditempatkan sebagai alat manakala tujuan yang ingin diraih berupa kompetensi personal dan sosial, sedangkan bahan kajian sebagai tujuan manakala tujuan yang ingin diraih berupa kompetensi akademis dan vokasional, lihat contoh yang diilustrasikan dalam gambar berikut ini.
Penekanan tujuan pembelajaran seringkali erat kaitannya dengan jenjang pendidikan. Pada jenjang pendidikan Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama seringkali tujuan pendidikan jasmani lebih banyak pada perolehan kompetensi personal dan sosial dengan menekankan pada ranah perilaku afektif dan psikomotor. Sedang pada jenjang pendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas tujuan pendidikan jasmani tidak hanya ditujukan untuk perolehan kompetensi personal dan sosial saja melainkan juga sudah seimbang dengan kompetensi akademis personal dan sosial saja melainkan juga sudah seimbang dengan kompetensi akademis dan vokasi dengan menekankan pada ranah yang lebih menyeluruh meliputi kognitif, afektif, dan psikomotor, hal ini dilakukan sebagai pemberian peluang kepada siswa yang berminat melanjutkan pada jenjang pendidikan bidang keolahragaan yang lebih spesifik lagi seperti masuk FPOK.
Demikian juga dalam Permen no 22 tahun 2006 tentang standar isi, kompetensi pendidikan jasmani dinyatakan, “Pendidikan memiliki sasaran pedagogis, oleh karena itu pendidikan kurang lengkap tanpa adanya pendidikan jasmani, olahraga dan kesehatan, karena gerak sebagai aktivitas jasmani adalah dasar bagi manusia untuk mengenal dunia dan dirinya sendiri yang secara alami berkembang searah dengan perkembangan zaman”.
Permasalahan
Berdasarkan latar belakang yang telah dituliskan diatas, maka rumusan masalah dalam pembahasan makalah ini adalah:
1.      Apakah Orientasi Nilai Kurikulum Pendidikan Jasmani?
2.      Bagaimana Perkembangannya?


Pembahasan
1.        Orientasi Nilai Kurikulum Pendidikan Jasmani
Kurikulum disusun dengan memperhitungkan berbagai asumsi, kepercayaan serta nilai-nilai yang diyakini bermanfaat untuk diberikan kepada para siswa. Namun kenyataannya, kesemua asumsi dan keyakinan tersebut tidak mampu disampaikan secara utuh kepada siswa dalam proses pembelajaran di kelas. Hal ini nampaknya merupakan gejala umum yang terjadi di Indonesia, yang disebabkan oleh dua hal: pertama, kurikulum dipandang sebagai dokumen baku yang harus diikuti oleh guru tanpa menyediakan ruang untuk menafsirkan orientasi nilainya masing-masing, dan kedua, para guru sendiri memang tidak memiliki penguasaan yang memadai terhadap perspektif filosofis kurikulum, sehingga jika diberi peluang pun, mereka tidak akan mampu memberikan penafsiran apa-apa.
Gejala itulah yang sering ditangkap oleh para ahli sebagai kesenjangan kurikulum antara teori dan praktik, dan dalam hal itu pulalah para guru di Indonesia dianggap masih berkualitas rendah. Studi tentang kurikulum telah mengindikasikan bahwa cara guru mengimplementasikan kurikulum lebih diwarnai oleh keyakinan dan pemahaman guru tentang kurikulum tersebut. Dengan kata lain, kurikulum merupakan refleksi dari maksud serta tujuan guru serta faktor-faktor yang mempengaruhi dan membentuk maksud-tujuan guru tersebut (Steinhard, 1992: 966). Dengan perspektif dan orientasi yang jelas, guru akan berusaha menciptakan lingkungan belajar yang paling cocok bagi penumbuhan dan pembentukan orientasi tersebut, termasuk di dalamnya menfasirkan kurikulum yang ada ke dalam model-model kurikulum yang dianutnya.
Dalam wilayah pembelajaran pendidikan jasmani, Jewet dan Bain (1985) telah berusaha mengeksplisitkan orientasi nilai tadi dalam ke dalam praktik pembelajaran penjas, dan penemuan mereka itu dijadikan bahan untuk mengidentifikasi orientasi pengajaran para guru penjas. Menurut Jewet dan Bain, sedikitnya ada lima orientasi nilai yang dianut para guru penjas, yang mendasari penerapan kurikulum penjas di sekolah-sekolah. Kelima orientasi nilai tersebut adalah:
1.      Disciplinary mastery adalah menekankan prioritasnya pada penguasaan pokok bahasannya kurikulum ini menghendaki agar siswa menguasai berbagai materi pelajaran yang dicantumkan dalam kurikulum, dengan ukuran-ukuran keberhasilan yang ditentukan oleh seberapa besar prosentase isi materi pelajaran itu dikuasai siswa.
2.      Proses belajar (learning process) menekankan tujuan pengajarannya pada pentingnya keterjadian proses pembelajaran yang dialami siswa. Tidak perduli dengan hasil akhirnya, para penganut aliran proses belajar lebih menekankan pada proses pembelajaran. Kurikulumnya yaitu guru menciptakan lingkungan belajarnya bagi siswa, dirancang untuk membangkitkan dan membina keterampilan siswa dalam memecahkan masalah.
3.      Aktualisasi diri (self actualization), kurikulum diarahkan kepada peserta didik dalam pencapaian otonomi individu dan kemampuan mengarahkan dirinya sendiri. Dengan perspektif ini siswa dilatih untuk mampu bertanggung jawab dalam menentukan sendiri arah tujuannya, mengembangkan keunikan pribadi, dan mampu memandu dirinya sendiri dalam kegiatan belajarnya.
4.      Rekonstruksi sosial (social reconstruction) menekankan prioritas tertinggi sumber kurikulumnya pada masyarakat, sebagai sumber yang memberikan arah bagi pendidikan kebutuhan masyarakat.. Karena itu, penganut aliran ini percaya bahwa sekolah bertanggung jawab untuk membentuk masa depan generasi muda yang lebih baik.
5.      Integrasi lingkungan (ecological integration), kurikulum diarahkan untuk memberikan kesadaran akan perubahan lingkungan, gaya hidup manusia yang semakin berubah. Asumsinya bahwa setiap individu mengalami proses penyempurnaan sehingga terjalin keterpaduan secara utuh antara pribadi dan lingkungannya.

2.        Perkembangan Orientasi Nilai Pendidikan Jasmani
Pendidikan jasmani dan olahraga memiliki dua keuntungan utama yaitu keuntungan fisik dan edukasi (Bailey, 2009). Keuntungan fisik meliputi: kebugaran, keterampilan gerak, dan kebiasaan melakukan aktivitas fisik (gaya hidup aktif). Sedangkan keuntungan edukasi meliputi: sosial, afektif, dan kognitif.  Pendidikan Jasmani yang diperoleh siswa di sekolah pada dasarnya merupakan proses penanaman nilai-nilai edukasi melalui aktivitas fisik dan olahraga yang disediakan oleh gurunya, yang pada gilirannya kebiasaan baik tersebut dapat dipraktekkan oleh siswa pada kehidupan sehari-hari siswa di masyarakat sepanjang hidupnya.
Sebaliknya praktek salah yang terjadi pada aktivitas fisik dan olahraga di masyarakat hendaknya merupakan feedback bagi pengembangan pembelajaran Pendidikan Jasmani di sekolah. Dengan demikian Pendidikan Jasmani selalu berinteraksi secara positif, reflektif, dan berkelanjutan mendidik satu generasi ke generasi berikutnya menuju kehidupan yang lebih baik. Aktivitas fisik yang dalam Pendidikan Jasmani berfungsi sebagai media pendidikan dapat memberikan banyak keuntungan sebagaimana dikemukakan (Martin, 2010:5).
a)        Orientasi Nilai Kebugaran Jasmani
Berdasarkan perspektif sejarah, tujuan mendapatkan kebugaran jasmani dari Pendidikan Jasmani berlangsung sudah cukup lama (meskipun terminologinya belum menggunakan istilah kebugaran jasmani/physical fitness), dimulai dari tahun 1850an hingga tahun 1950an (Kirk, 1992) yang ditujukan untuk meningkatkan fungsi tubuh secara umum, yang meliputi: membantu pertumbuhan dan perkembangan anak secara alami, peningkatan efektivitas fungsi tubuh, dan yang paling populer adalah untuk perbaikan kelainan postur tubuh, melalui latihan fisik yang salah satunya dikenal dengan nama senam sistem Swedia (Swedish gymnastics). Selain itu, pada saat yang sama diklaim pula bahwa aktivitas fisik merupakan salah satu dari empat elemen penting yang memberi kontribusi terhadap kesehatan. Tiga elemen penting lainnya adalah: nutrisi, sanitasi, dan udara bersih (Thomson, 1979).
Pada tahun 1950an, penelitian-penelitian tentang pengaruh Penjas terhadap kebugaran jasmani makin banyak dilakukan. Istilah kebugaran jasmani menjadi lebih populer dan penekanan dampak fisik kebugaran jasmani dari Pendidikan Jasmani berubah dari penekanan untuk perbaikan postur tubuh menjadi untuk meningkatkan kebugaran jasmani sebagaimana dikenal sekarang, sehingga berbagai program kebugaran jasmani banyak dikembangkan. Beberapa program seperti program keep fit, program gerak bagi kaum perempuan, Circuit Training (Morgan & Adamson, 1961), dan program Aerobics (Cooper, 1982) mulai menjadi fokus Pendidikan Jasmani. Hingga sekarang penekanan dampak fisik berupa peningkatan kebugaran jasmani dari Pendidikan Jasmani tetap sering menjadi tujuan utama dari Penjas meskipun banyak para ahli memperdebatkannya.
Walaupun dampak Penjas terhadap kebugaran jasmani tetap diakui, dipertahankan, dan di USA dampak kebugaran jasmani pernah menjadi fokus utama Pendidikan Jasmani, namun terdapat perubahan dalam penekanannya, yaitu penekanan utnuk meningkatkan status kebugaran jasmani (physical fitness) pada tahun 1960an dan penekanan pada peningkatan gaya hidup aktif  (active life style) pada tahun 1970an hingga sekarang.
b)       Orientasi Nilai Kemampuan Gerak
Pada periode Pendidikan Jasmani memfokuskan diri pada tujuan peningkatan kebugaran, yaitu sekitar tahun 1950an, olahraga mulai digandrungi oleh semua lapisan masyarakat dan para siswa di sekolahpun sangat menyenanginya dan seringkali mereka menuntut guru untuk memberikan aktivitas olahraga dalam Pendidikan Jasmani di sekolah. Untuk itu, dampak fisik berupa perkembangan dan peningkatan keterampilan gerak serta perseptual motor ability dari Pendidikan Jasmani menjadi semarak di lingkungan persekolahan (Knapp, 1963).
Penekanan fokus peningkatan keterampilan gerak dari Pendidikan Jasmani ini hingga sekarang masih tetap kuat. Tujuannya adalah untuk menguasai kompetensi gerak dasar yang diperlukan agar dapat bermain olahraga dan berpartisipasi dalam aktivitas fisik lainnya secara memadai. Pembelajaran Pendidikan Jasmani dengan menggunakan pendekatan teknik untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam menguasai berbagai gerak yang diperlukan dalam olahraga menjadi semarak di sekolah-sekolah. Hingga penilaian terhadap dimensi penguasaan gerak dan olahraga sempat menjadi fokus utama tujuan Pendidikan Jasmani di sekolah-sekolah. Perdebatan sempat muncul terutama yang berhubungan dengan pendekatan dan fokus pembelajaran yang menekankan pada peningkatan penguasaan gerak, peningkatan kemampuan bermain, dan gaya hidup aktif.
Untuk lebih menjamin kesinambungan fokus pembelajaran dari mulai Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas dan menjamin keseimbangan fokus penguasaan gerak (gerak dasar dan teknik dasar) dan kemampuan bermain ( keterampilan taktik dan strategi) fokus utama pendekatan pembelajaran tersebut adalah peningkatan kemampuan bermain yang berujung pada kesenangan berolahraga, meningkatnya keterampilan gerak berolahraga, dan nilai-nilai pendidikan lainnya. Keunggulan pendekatan ini sudah cukup banyak didukung oleh bukti-bukti hasil penelitian (Metzler, 2000; Gallahue, 1982; Siedentop, 1994).
c)        Orientasi Nilai Gaya Hidup Aktif
Dampak fisik berupa penanaman gaya hidup aktif sepanjang hayat melalui Pendidikan Jasmani pada tahun 1970an di beberapa negara maju menjadi pilihan utama. Pilihan ini didasarkan pada berbagai keyakinan dan hasil kajian. Bailey (2009) mengemukakan bahwa fokus Penjas yang hanya meningkatkan kebugaran jasmani dan keterampilan gerak saja tidaklah lengkap. Kebugaran jasmani dan penguasaan gerak selagi masa kanak-kanak tidak menjamin tertanamnya gaya hidup aktif dan kesehatan di hari tua, kecuali masih tetap memiliki kesenangan dan kebiasaan melakukan aktivitas fisik secara rutin.
Kondisi gaya hidup aktif sekarang ini sangat rendah dan efeknya sangat memprihatinkan (depdiknas, 2007). Kondisi ini kecenderungannya akan terus berlanjut dan apabila tidak dicarikan pemecahannya, maka efek negatif dari rendahnya melakukan aktivitas fisik, makin lama akan semakin merugikan berbagai dimensi kehidupan baik secara individual maupun komunal.   
Sebaliknya, gaya hidup aktif yang ditandai dengan partisipasi olahraga merupakan faktor penting penentu kesehatan, kesejahteraan, dan produktifitas kerja. Penurunan kemampuan fisik di masa tua sebagian ditentukan oleh faktor-faktor yang berhubungan dengan gaya hidup, seperti merokok, konsumsi alkohol, diet, lingkungan, dan terutama adalah kesenangan dan kebiasaan melakukan aktivitas fisik.
Seseorang yang tidak melakukan olahraga memiliki resiko dua kali terkena penyakit kanker daripada seseorang yang aktif melakukan olahraga. Olahraga berpotensi mencegah terjadinya osteoporosis secara dini dan juga berdampak positif terhadap phychological well-being seseorang (Brown, 2008). Peranan utama aktivitas fisik adalah vaskularisasi atau pembentukan saluran-saluran darah lebih banyak. Dengan demikian, walaupun seandainya ada serpihan lemak terlepas dan menyumbat pembuluh darah, masih banyak pembuluh darah di sekitarnya yang dapat mengalirkan darah ke jaringan tubuh yang menderita akibat sumbatan  sebelum kerusakan fatal (antara hidup dan mati) terjadi (Cooper, 1982).
Kebiasaan melakukan aktivitas fisik dapat meningkatkan status kesehatan, kualitas hidup, fungsi tubuh pada usia menengah dan memperoleh keuntungan pencegahan dari berbagai penyakit non infeksi pada masa tua. Brown, Burton, and Heesch (2007) melakukan penelitian longitudinal terhadap kesehatan perempuan di Australia yang berusia 18-23 tahun (early life), usia 45-50 tahun (mid life), dan usia 70-75 tahun (older life).
Dari hasil penelitian tersebut dapat disampaikan bahwa, pertama gaya hidup aktif pada masa kanak-kanak dan masa paruh baya berguna untuk memperlambat menurunnya fungsi tubuh, pencegahan dari penyakit kronik, dan hidup ketergantungan dari orang lain. Kedua, bagi mereka yang semasa kanak-kanak terbiasa aktif namun pada masa paruh baya tidak aktif, maka pada usia itu fungsi tubuhnya akan drastis menurun (lihat garis putus-putus pada gambar di atas) mendekati batas kemampuan fungsi tubuh mereka yang tidak memiliki gaya hidup aktif dan memiliki potensi yang sama terkena berbagai penyakit kronis seperti mereka yang tidak memiliki gaya hidup aktif.
Promosi peningkatan kesehatan melalui penanaman gaya hidup aktif tidak hanya penting untuk alasan peningkatan kualitas hidup dan kesehatan seseorang, tetapi juga memberi dampak dimensi ekonomi. Kondisi tubuh yang sehat menyebabkan seseorang memiliki resistensi yang lebih kuat terhadap stress, berbagai penyakit degeneratif, dan dapat menjalani kegiatan sehari-hari menjadi lebih bergairah, dan produktivitas akan semakin meningkat. Bagi mereka yang memasuki usia lanjut, kebiasaan melakukan aktivitas fisik secara rutin dapat menjaga kesehatan dan kebugarannya, mereka akan lebih siap menghadapi usia tua, lebih mandiri, kuat dan ceria sehingga proses penuaan dapat diperlambat.
Berbagai bukti dampak positif dari kebiasaan melakukan aktivitas fisik inilah yang selanjutnya penekanan tujuan Pendidikan Jasmani sedikit demi sedikit berubah. Tujuan Pendidikan Jasmani yang semula lebih berorientasi untuk meningkatkan kebugaran jasmani dan penguasaan gerak menjadi lebih berorientasi untuk menanamkan kesenangan dan kebiasaan melakukan aktivitas fisik sepanjang hayat. Tujuan untuk meningkatkan kebugaran jasmani dan penguasaan gerak untuk dapat berolahraga tetap diperhitungkan, namun lebih ditempatkan sebagai dampak positif dari Pendidikan Jasmani.  
3.        Penerapan Orientasi Kurikulum Pendidikan Jasmani
Memaknai secara lebih mendalam mengenai kompetensi sosial guru, pemikiran Ki Hajar Dewantara yang menggunakan semboyan Tut Wuri Handayani, menempatkan pengajar sebagai orang yang berada di belakang siswa, membimbing dan mendorong siswa untuk belajar, memberi teladan, serta membantu siswa membiasakan dirinya untuk menampilkan perilaku yang bermakna dan berguna bagi masyarakatnya.
Kurikulum pendidikan olahraga (sport education) secara sempit. Maksudnya, setiap guru penjas meyakini bahwa tugasnya di sekolah-sekolah adalah untuk memberikan pengalaman dan penguasaan berbagai cabang olahraga formal kepada siswa. Konsekuensi yang paling logis dari diadopsinya model kurikulum sport education secara sempit tercermin dari dipertahankan dan diadopsinya secara kuat prinsip-prinsip dan praktek pelatihan olahraga dalam kelas pendidikan jasmani. Guru hanya melihat tugas utamanya adalah menjadikan anak sebagai calon atlet yang tangguh, yang dalam proses belajar-mengajarnya tidak pernah memperhatikan perbedaan individual yang tajam dari siswa-siswanya.
Bahkan lebih jauh, guru pun seolah tidak terbuka inspirasinya untuk mengelola kelas secara kreatif, menyediakan atmosfir yang menyenangkan anak, serta melupakan kenyataan bahwa tidak semua anak tertarik pada cabang olahraga yang dipelajarinya. Yang penting, guru sudah mengikuti prinsip pelatihan, yang terdiri dari proses pemanasan formal, inti formal, dan penenangan yang formal. Dalam istilah populer dewasa ini, guru melaksanakan tugasnya benar-benar bersandar pada pendekatan pengajaran keterampilan formal. Barangkali pengadopsian model pendidikan olahraga ini tidak akan menimbulkan masalah, jika sejak awal penerapannya, guru penjas sendiri diberi bekal kompetensi yang memadai dalam cara bagaimana model ini dapat diterapkan secara optimal.
Di samping itu, isu kelemahan dalam program penjas tersebut tidak akan terlalu marak, jika saja model pendidikan olahraga ini didukung oleh perlengakapan serta pra-sarana olahraga yang memadai. Masalahnya menjadi lain, manakala perhatian kepada program pendidikan jasmani di sekolah semakin berkurang, sehingga perlengkapan dan sarana penunjang mata pelajaran penjas pun semakin tidak diperhatikan.
Konsekuensi lanjutan dari tidak tersedianya alat dan perlengkapan pembelajaran penjas di sekolah-sekolah adalah tidak berdayanya guru untuk menyiasati tugas-tugas kurikulernya, sehingga pembelajaran penjas yang bernuansa pendidikan olahraga itu lebih banyak dilaksanakan seadanya.
Dengan jumlah waktu aktif belajar yang rendah, apalagi guru tidak berusaha merubah proses pembelajaran dan penyediaan tugas gerak yang kurang tepat, menyebabkan pergerakan anak dalam melakukan tugas geraknya sangat lamban dan tidak intens, sehingga kebugaran jasmani anakpun tidak berkembang sebagaimana mestinya. Dengan jumlah waktu aktif belajar yang rendah dan alat yang tidak memadai, menyebabkan jumlah ulangan dari tugas gerak yang dilaksanakan anak pun sangat sedikit, sehingga keterampilan gerak anak tidak dapat dikembangkan secara optimal.
Dengan kondisi pembelajaran yang tidak menarik dan tidak menantang tersebut, tidak mengherankan jika situasi pembelajaran akan bersifat monoton, sehingga mendorong beberapa anak untuk mengabaikan tugas dan cenderung melakukan perilaku yang menyimpang. Guru yang tidak peka, akan menangani perilaku menyimpang tersebut dengan cara-cara represif, sehingga atmosfir pembelajaran pun relatif tidak kondusif. Banyak anak yang akan merasa drop-out, dan hanya sebagian kecil saja yang merasa berhasil. Akibatnya banyak anak yang semakin tidak menyukai pelajaran pendidikan jasmani, dan dalam jangka panjang semakin banyak yang tidak mendapat manfaat apa-apa dari program pendidikan jasmani yang demikian.
Penutup
1.        Kesimpulan
Tidak diragukan lagi bahwa dampak utama Pendidikan Jasmani terhadap fisik merupakan dampak Pendidikan Jasmani  yang paling populer di masyarakat dan diposisikan sebagai kontribusi unik dari Pendidikan Jasmani, yang meliputi: kebugaran jasmani, keterampilan gerak, dan pengetahuan tentang kebugaran jasmani dan keterampilan gerak, yang berujung pada pembentukan gaya hidup aktif dan sehat sepanjang hayat. Dampak ini dikatakan unik karena dampak seperti ini tidak didapatkan melalui mata pelajaran lain (Dauer, V. P. & Pangrazi, R. P, 1992; Graham, G., Holt, S. A., Parker, M. 1993). Penekanan dampak fisik (kebugaran, keterampilan gerak, dan gaya hidup aktif) dari Pendidikan Jasmani ini berubah seiring dengan perkembangan tuntutan dan kebutuhan masyarakat.
2.        Saran
Pendidikan jasmani harus didukung oleh perlengakapan serta pra-sarana olahraga yang memadai. Dimana perhatian kepada program pendidikan jasmani di sekolah semakin berkurang, sehingga perlengkapan dan sarana penunjang mata pelajaran penjas pun semakin kurang diperhatikan. Akibatnya banyak anak yang semakin kurang menyukai pembelajaran pendidikan jasmani disekolah.



Daftar Pustaka
Anshari, Endang Saifuddin. 1990.Ilmu, Filsafat dan Agama.Surabaya: Bina Ilmu
Ateng, Abdulkadir. 1989. Pengantar Asas-Asas dan Landasan Pendidikan Jasmani Olahraga dan Rekreasi. Jakarta: Depdikbud, Dirjen Dikti.
Drijarkara, N. 1989. Filasafat Manusia. Yogyakarta: Kanisius
Gazalba, Sidi. 1973. Sistematika Filsafat. Jakarta: Bulan Bintang.
Gie, The Liang. 1991. Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Liberty.
Haag, Herbert. 1994. Theoritical Foundation of Sport Science as a ScintificDisipline. Schorndorf, Federal Republic of Germany: Hofmann.
Hanurawan, F., Syam, M. N. & Samawi, A. 2006. Filsafat Pendidikan. Malang: Fakultas  Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Malang.
Kattsoff, Louis O. 1992. Pengantar Filsafat. Terjemahan oleh Soejono Soemargo.    Yogyakarta: Tiara Wacana.
McNamee, M. 2002. Resource Guide to Philosophy of Sport. London: Hospitality, Leisure, Sport and Tourisme Network.
Poedjiadi, Anna. 1987. Sejarah dan Filsafat Sains. Jakarta: Depdikbud, Dirjen Dikti.
Saifullah, Ali. 1977. Antara Filsafat dan Pendidikan, Pengantar Filsafat Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional.
Setijadji. tanpa tahun. Prolegomena Filsafat Olahraga. tanpa penerbit.                 
Wuest, Deborah A. dan Bucher, Charles A. 1995. Foundations of Physical Education and Sport (twelfh edition)t. St. Louis: Mosby-Year Book, INC.
http://www.kabarguruku.com/2014/06/makala-pendidikan-olahraga-sekolah.html, di akses 10 November 2015 pukul 19.28 WIB.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar