Orientasi
Kurikulum Pendidikan Jasmani
Oleh Kelompok 11
Duarsyah dan M. Ali
Mirwansyah.
(Program Pasca
Sarjana Unsri Pendidikan Olahraga)
Abstrak: Orientasi
pengembangan kurikulum diartikan sebagai sebuah arah atau pendekatan yang
memiliki penekanan tertentu pada suatu hal dalam mengembangkan kurikulum baik
bagi para pengembang kurikulum maupun para pelaksana di sekolah pengembangan kurikulum berdasarkan disiplin
ilmu merupakan refleksi dari model orientasi posisi transmisi
ini lebih merinci setiap mata pelajaran
Kata Kunci: Orientasi dan Kurikulum
Pendahuluan
1.
Konsep Pendidikan Jasmani
Pendidikan
pada dasarnya merupakan upaya untuk meningkatkan
kualitas sumber daya manusia (SDM), walaupun usaha pengembangan SDM tidak hanya
dilakukan melalui pendidikan khususnya pendidikan formal (sekolah). Tetapi
sampai saat ini, pendidikan masih dipandang sebagai sarana dan wahana utama
untuk pengembangan SDM yang dilakukan dengan sistematis, programatis, dan
berjenjang (Mustakim, 2008).
Pendidikan jasmani dan olahraga merupakan dua istilah
yang di Indonesia penggunaannya sering silih berganti. Olahraga merupakan
istilah asli Indonesia yang sebetulnya mirip dengan pengertian pendidikan jasmani
“physical education”, hanya saja
penggunaan istilah olahraga lebih banyak di lingkungan masyarakat, sedangkan
Pendidikan jasmani (physical education)
penggunaannya lebih banyak di lingkungan persekolahan.
Olahraga merupakan bagian dari kehidupan masyarakat
yang mencerminkan nilai dan juga sebagai komponen budaya. Olahraga dianggap
sebagai pengejawantahan cara hidup nyata, dan wahana bagi anak muda untuk
belajar nilai-nilai inti. Prof. Riysdorp, (dalam Lutan 2004) mengatakan bahwa
konsep olahraga yang dianut oleh bangsa Indonesia sangat tepat. Olahraga, kata
Riysdorp, terdiri dari dua kata, “olah” dan “raga”. Olah, seperti lazim
digunakan untuk menyebut proses mengolah tanah dalam pertanian, atau mengolah
bahan makanan sehingga menjadi lezat, setara dengan kata “cultivization” dalam bahasa Inggris, yang maknanya dekat sekali
dengan makna kata “education” yang
diterjemah ke dalam bahasa Indonesia, bermakna pendidikan.
Selanjutnya kata raga lebih menunjuk kepada makna
luas, kesatuan jiwa dan raga, yang bersandar pada filsafat monism. Karena itu di bagian lain Risydorp menjelaskan misi
pendidikan jasmani merupakan proses pembinaan dan sekaligus pembentukan yang
diungkapkannya dalam istilah forming
yang arti secara utuhnya sama dengan pengertian dari kata educating dalam istilah Physical Education.
Implikasi dari pandangan tersebut adalah kita sering
menjumpai pengertian pendidikan sebagai proses pengalihan nilai budaya dari
generasi tua ke generasi muda. Upaya sadar dan sengaja serta bertujuan itu
dimaksudkan untuk mengalihkan dan sekaligus menanamkan makna hidup yang baik,
yang diangkat dari kepercayaan dan keyakinan masyarakat yang sangat mendasar
tentang hakikat dunia, pengetahuan dan nilai.
Pendidikan jasmani merupakan terjemahan dari physical education. Penafsiran dan
implementasi pendidikan jasmani di sekolah seringkali terjadi perbedaan.
Tafsiran pertama, sering disebut sebagai pandangan tradisional, menganggap
bahwa pendidikan jasmani hanya semata-mata mendidik jasmani atau sebagai
pelengkap, penyeimbang, atau penyelaras pendidikan rohani manusia. Menurut
pandangan ini, pelaksanaan pendidikan jasmani cenderung mengarah kepada upaya
memperkuat badan; memperhebat keterampilan fisik, atau kemampuan jasmaniahnya
saja. Bahkan lebih dari itu, pelaksanaan pendidikan jasmani ini justru sering
kali mengabaikan kepentingan jasmani itu sendiri, seperti penggunaan obat-obat
terlarang untuk meraih performa yang lebih baik.
Namun berdasarkan sudut pandang pendidikan, pandangan
ini tidak mendapat pengakuan. Analisis kritis dan pertimbangan logis ternyata
kurang mendukung terhadap pandangan dikhotomi tersebut. Fakta dan temuan
lapangan cenderung memperkuat pandangan yang bersifat holistik. Pandangan holistik mengganggap bahwa manusia bukan
sesuatu yang terdiri dari bagian-bagian yang terpilah-pilah. Manusia adalah
kesatuan dari berbagai bagian yang terpadu.
Oleh karena itu pendidikan jasmani tidak dapat hanya
berorientasi pada jasmani saja atau hanya untuk kepentingan satu komponen saja.
Sebagaimana disebutkan dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP, 2006),
sebagai berikut pendidikan jasmani olahraga dan kesehatan merupakan bagian
integral dari pendidikan secara keseluruhan, bertujuan untuk mengembangkan
aspek kebugaran jasmani, keterampilan gerak, keterampilan berfikir kritis,
keterampilan sosial, penalaran, stabilitas emosional, tindakan moral, aspek
pola hidup sehat dan pengenalam lingkungan bersih melalui aktivitas jasmani,
olahraga dan kesehatan terpilih yang direncanakan secara sistematis dalam rangka
mencapai tujuan pendidikan nasional. Apabila definisi pendidikan jasmani ini dielaborasi dan dikaitkan dengan
kurikulum pendidikan jasmani yang berlaku di Indonesia dewasa ini (Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan/KTSP), penulis sering mengilustrasikannya seperti
dalam gambar berikut ini.
Pendidikan jasmani adalah pendidikan melalui dan
tentang aktivitas fisik atau dalam bahasa aslinya adalah Physical education is education of and through movement. Terdapat
tiga kata kunci dalam definisi tersebut, yaitu 1) pendidikan (education), yang direfleksikan dengan
kompetensi yang ingin diraih siswa 2) melalui dan tentang (through and of), sebagai kata sambung yang menggambarkan keeratan
hubungan yang dinyatakan dengan berhubungan langsung dan tidak langsung dan 3)
gerak (movement), merupakan bahan
kajian (aktivitas permainan, aquatik, rithmik, uji diri, dsb) sebagaimana
tertera dalam kurikulum pendidikan jasmani.
Berdasarkan definisi tersebut cukup jelas bahwa posisi
movement atau dalam kurikulum disebut
bahan kajian yang terdiri dari tujuh bahan kajian (aktivitas permainan dan
olahraga, aktivitas pengembangan, aktivitas uji diri/senam, aktivitas ritmik,
aktivitas air/aquatic, aktivitas luar kelas, dan kesehatan), dapat ditempatkan
sebagai alat atau tujuan. Bahan kajian ditempatkan sebagai alat manakala tujuan
yang ingin diraih berupa kompetensi personal dan sosial, sedangkan bahan kajian
sebagai tujuan manakala tujuan yang ingin diraih berupa kompetensi akademis dan
vokasional, lihat contoh yang diilustrasikan dalam gambar
berikut ini.
Penekanan tujuan pembelajaran seringkali erat
kaitannya dengan jenjang pendidikan. Pada jenjang pendidikan Sekolah Dasar dan
Sekolah Menengah Pertama seringkali tujuan pendidikan jasmani lebih banyak pada
perolehan kompetensi personal dan sosial dengan menekankan pada ranah perilaku
afektif dan psikomotor. Sedang pada jenjang pendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat
Atas tujuan pendidikan jasmani tidak hanya ditujukan untuk perolehan kompetensi
personal dan sosial saja melainkan juga sudah seimbang dengan kompetensi
akademis personal dan sosial saja melainkan juga sudah seimbang dengan
kompetensi akademis dan vokasi dengan menekankan pada ranah yang lebih
menyeluruh meliputi kognitif, afektif, dan psikomotor, hal ini dilakukan sebagai pemberian peluang kepada
siswa yang berminat melanjutkan pada jenjang pendidikan bidang keolahragaan
yang lebih spesifik lagi seperti masuk FPOK.
Demikian juga dalam Permen no 22 tahun 2006 tentang
standar isi, kompetensi pendidikan jasmani dinyatakan, “Pendidikan memiliki
sasaran pedagogis, oleh karena itu pendidikan kurang lengkap tanpa adanya
pendidikan jasmani, olahraga dan kesehatan, karena gerak sebagai aktivitas
jasmani adalah dasar bagi manusia untuk mengenal dunia dan dirinya sendiri yang
secara alami berkembang searah dengan perkembangan zaman”.
Permasalahan
Berdasarkan latar belakang yang telah dituliskan
diatas, maka rumusan masalah dalam pembahasan makalah ini adalah:
1. Apakah Orientasi Nilai Kurikulum Pendidikan Jasmani?
2. Bagaimana Perkembangannya?
Pembahasan
1.
Orientasi Nilai Kurikulum
Pendidikan Jasmani
Kurikulum
disusun dengan memperhitungkan berbagai asumsi, kepercayaan serta nilai-nilai
yang diyakini bermanfaat untuk diberikan kepada para siswa. Namun kenyataannya,
kesemua asumsi dan keyakinan tersebut tidak mampu disampaikan secara utuh
kepada siswa dalam proses pembelajaran di kelas. Hal ini nampaknya merupakan
gejala umum yang terjadi di Indonesia, yang disebabkan oleh dua hal: pertama,
kurikulum dipandang sebagai dokumen baku yang harus diikuti oleh guru tanpa
menyediakan ruang untuk menafsirkan orientasi nilainya masing-masing, dan kedua,
para guru sendiri memang tidak memiliki penguasaan yang memadai terhadap
perspektif filosofis kurikulum, sehingga jika diberi peluang pun, mereka tidak
akan mampu memberikan penafsiran apa-apa.
Gejala
itulah yang sering ditangkap oleh para ahli sebagai kesenjangan kurikulum
antara teori dan praktik, dan dalam hal itu pulalah para guru di Indonesia
dianggap masih berkualitas rendah. Studi tentang kurikulum telah
mengindikasikan bahwa cara guru mengimplementasikan kurikulum lebih diwarnai
oleh keyakinan dan pemahaman guru tentang kurikulum tersebut. Dengan kata lain,
kurikulum merupakan refleksi dari maksud serta tujuan guru serta faktor-faktor
yang mempengaruhi dan membentuk maksud-tujuan guru tersebut (Steinhard, 1992:
966). Dengan perspektif dan orientasi yang jelas, guru akan berusaha
menciptakan lingkungan belajar yang paling cocok bagi penumbuhan dan
pembentukan orientasi tersebut, termasuk di dalamnya menfasirkan kurikulum yang
ada ke dalam model-model kurikulum yang dianutnya.
Dalam
wilayah pembelajaran pendidikan jasmani, Jewet dan Bain (1985) telah berusaha
mengeksplisitkan orientasi nilai tadi dalam ke dalam praktik pembelajaran
penjas, dan penemuan mereka itu dijadikan bahan untuk mengidentifikasi
orientasi pengajaran para guru penjas. Menurut Jewet dan Bain, sedikitnya ada
lima orientasi nilai yang dianut para guru penjas, yang mendasari penerapan
kurikulum penjas di sekolah-sekolah. Kelima orientasi nilai tersebut adalah:
1. Disciplinary
mastery adalah menekankan prioritasnya pada penguasaan pokok
bahasannya kurikulum ini menghendaki agar siswa menguasai berbagai materi
pelajaran yang dicantumkan dalam kurikulum, dengan ukuran-ukuran keberhasilan
yang ditentukan oleh seberapa besar prosentase isi materi pelajaran itu
dikuasai siswa.
2. Proses
belajar (learning process) menekankan tujuan pengajarannya pada
pentingnya keterjadian proses pembelajaran yang dialami siswa. Tidak perduli
dengan hasil akhirnya, para penganut aliran proses belajar lebih
menekankan pada proses pembelajaran. Kurikulumnya yaitu guru menciptakan
lingkungan belajarnya bagi siswa, dirancang untuk membangkitkan dan membina
keterampilan siswa dalam memecahkan masalah.
3. Aktualisasi
diri (self actualization), kurikulum diarahkan kepada peserta didik
dalam pencapaian otonomi individu dan kemampuan mengarahkan dirinya sendiri. Dengan
perspektif ini siswa dilatih untuk mampu bertanggung jawab dalam menentukan
sendiri arah tujuannya, mengembangkan keunikan pribadi, dan mampu memandu
dirinya sendiri dalam kegiatan belajarnya.
4. Rekonstruksi
sosial (social reconstruction) menekankan prioritas tertinggi sumber
kurikulumnya pada masyarakat, sebagai sumber yang memberikan arah bagi
pendidikan kebutuhan masyarakat.. Karena itu, penganut aliran ini percaya bahwa
sekolah bertanggung jawab untuk membentuk masa depan generasi muda yang lebih
baik.
5. Integrasi
lingkungan (ecological integration), kurikulum diarahkan untuk
memberikan kesadaran akan perubahan lingkungan, gaya hidup manusia yang semakin
berubah. Asumsinya bahwa setiap individu mengalami proses penyempurnaan
sehingga terjalin keterpaduan secara utuh antara pribadi dan lingkungannya.
2.
Perkembangan Orientasi Nilai
Pendidikan Jasmani
Pendidikan jasmani dan olahraga memiliki dua
keuntungan utama yaitu keuntungan fisik dan edukasi (Bailey, 2009). Keuntungan
fisik meliputi: kebugaran, keterampilan gerak, dan kebiasaan melakukan
aktivitas fisik (gaya hidup aktif). Sedangkan keuntungan edukasi meliputi:
sosial, afektif, dan kognitif.
Pendidikan Jasmani yang diperoleh siswa di sekolah pada dasarnya
merupakan proses penanaman nilai-nilai edukasi melalui aktivitas fisik dan
olahraga yang disediakan oleh gurunya, yang pada gilirannya kebiasaan baik
tersebut dapat dipraktekkan oleh siswa pada kehidupan sehari-hari siswa di
masyarakat sepanjang hidupnya.
Sebaliknya praktek salah yang terjadi pada aktivitas
fisik dan olahraga di masyarakat hendaknya merupakan feedback bagi pengembangan pembelajaran Pendidikan Jasmani di
sekolah. Dengan demikian Pendidikan Jasmani selalu berinteraksi secara positif,
reflektif, dan berkelanjutan mendidik satu generasi ke generasi berikutnya
menuju kehidupan yang lebih baik. Aktivitas fisik yang dalam Pendidikan Jasmani
berfungsi sebagai media pendidikan dapat memberikan banyak keuntungan
sebagaimana dikemukakan (Martin, 2010:5).
a)
Orientasi Nilai Kebugaran
Jasmani
Berdasarkan perspektif sejarah, tujuan mendapatkan
kebugaran jasmani dari Pendidikan Jasmani berlangsung sudah cukup lama
(meskipun terminologinya belum menggunakan istilah kebugaran jasmani/physical fitness), dimulai dari tahun
1850an hingga tahun 1950an (Kirk, 1992) yang ditujukan untuk meningkatkan
fungsi tubuh secara umum, yang meliputi: membantu pertumbuhan dan perkembangan
anak secara alami, peningkatan efektivitas fungsi tubuh, dan yang paling
populer adalah untuk perbaikan kelainan postur tubuh, melalui latihan fisik
yang salah satunya dikenal dengan nama senam sistem Swedia (Swedish
gymnastics). Selain itu, pada saat yang sama diklaim pula bahwa aktivitas fisik
merupakan salah satu dari empat elemen penting yang memberi kontribusi terhadap
kesehatan. Tiga elemen penting lainnya adalah: nutrisi, sanitasi, dan udara
bersih (Thomson, 1979).
Pada tahun 1950an, penelitian-penelitian tentang
pengaruh Penjas terhadap kebugaran jasmani makin banyak dilakukan. Istilah
kebugaran jasmani menjadi lebih populer dan penekanan dampak fisik kebugaran
jasmani dari Pendidikan Jasmani berubah dari penekanan untuk perbaikan postur
tubuh menjadi untuk meningkatkan kebugaran jasmani sebagaimana dikenal
sekarang, sehingga berbagai program kebugaran jasmani banyak dikembangkan.
Beberapa program seperti program keep fit,
program gerak bagi kaum perempuan, Circuit
Training (Morgan & Adamson, 1961), dan program Aerobics (Cooper, 1982) mulai menjadi fokus Pendidikan Jasmani.
Hingga sekarang penekanan dampak fisik berupa peningkatan kebugaran jasmani
dari Pendidikan Jasmani tetap sering menjadi tujuan utama dari Penjas meskipun
banyak para ahli memperdebatkannya.
Walaupun dampak Penjas terhadap kebugaran jasmani
tetap diakui, dipertahankan, dan di USA dampak kebugaran jasmani pernah menjadi
fokus utama Pendidikan Jasmani, namun terdapat perubahan dalam penekanannya,
yaitu penekanan utnuk meningkatkan status kebugaran jasmani (physical fitness) pada tahun 1960an dan
penekanan pada peningkatan gaya hidup aktif
(active life style) pada tahun
1970an hingga sekarang.
b) Orientasi Nilai Kemampuan Gerak
Pada periode Pendidikan Jasmani memfokuskan diri pada
tujuan peningkatan kebugaran, yaitu sekitar tahun 1950an, olahraga mulai
digandrungi oleh semua lapisan masyarakat dan para siswa di sekolahpun sangat
menyenanginya dan seringkali mereka menuntut guru untuk memberikan aktivitas
olahraga dalam Pendidikan Jasmani di sekolah. Untuk itu, dampak fisik berupa
perkembangan dan peningkatan keterampilan gerak serta perseptual motor ability dari Pendidikan Jasmani menjadi semarak di
lingkungan persekolahan (Knapp, 1963).
Penekanan fokus peningkatan keterampilan gerak dari
Pendidikan Jasmani ini hingga sekarang masih tetap kuat. Tujuannya adalah untuk
menguasai kompetensi gerak dasar yang diperlukan agar dapat bermain olahraga
dan berpartisipasi dalam aktivitas fisik lainnya secara memadai. Pembelajaran
Pendidikan Jasmani dengan menggunakan pendekatan
teknik untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam menguasai berbagai gerak
yang diperlukan dalam olahraga menjadi semarak di sekolah-sekolah. Hingga
penilaian terhadap dimensi penguasaan
gerak dan olahraga sempat menjadi fokus utama tujuan Pendidikan Jasmani di
sekolah-sekolah. Perdebatan sempat muncul terutama yang berhubungan dengan
pendekatan dan fokus pembelajaran yang menekankan pada peningkatan penguasaan
gerak, peningkatan kemampuan bermain, dan gaya hidup aktif.
Untuk lebih menjamin kesinambungan fokus pembelajaran
dari mulai Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas dan menjamin keseimbangan
fokus penguasaan gerak (gerak dasar dan teknik dasar) dan kemampuan bermain (
keterampilan taktik dan strategi) fokus utama pendekatan pembelajaran tersebut
adalah peningkatan kemampuan bermain yang berujung pada kesenangan berolahraga,
meningkatnya keterampilan gerak berolahraga, dan nilai-nilai pendidikan
lainnya. Keunggulan pendekatan ini sudah cukup banyak didukung oleh bukti-bukti
hasil penelitian (Metzler, 2000; Gallahue, 1982; Siedentop, 1994).
c)
Orientasi Nilai Gaya Hidup
Aktif
Dampak fisik berupa penanaman gaya hidup aktif
sepanjang hayat melalui Pendidikan Jasmani pada tahun 1970an di beberapa negara
maju menjadi pilihan utama. Pilihan ini didasarkan pada berbagai keyakinan dan
hasil kajian. Bailey (2009) mengemukakan bahwa fokus Penjas yang hanya
meningkatkan kebugaran jasmani dan keterampilan gerak saja tidaklah lengkap.
Kebugaran jasmani dan penguasaan gerak selagi masa kanak-kanak tidak menjamin
tertanamnya gaya hidup aktif dan kesehatan di hari tua, kecuali masih tetap
memiliki kesenangan dan kebiasaan melakukan aktivitas fisik secara rutin.
Kondisi gaya hidup aktif sekarang ini sangat rendah
dan efeknya sangat memprihatinkan (depdiknas, 2007). Kondisi ini
kecenderungannya akan terus berlanjut dan apabila tidak dicarikan pemecahannya,
maka efek negatif dari rendahnya melakukan aktivitas fisik, makin lama akan semakin
merugikan berbagai dimensi kehidupan baik secara individual maupun komunal.
Sebaliknya, gaya hidup aktif yang ditandai dengan
partisipasi olahraga merupakan faktor penting penentu kesehatan, kesejahteraan,
dan produktifitas kerja. Penurunan kemampuan fisik di masa tua sebagian
ditentukan oleh faktor-faktor yang berhubungan dengan gaya hidup, seperti
merokok, konsumsi alkohol, diet, lingkungan, dan terutama adalah kesenangan dan
kebiasaan melakukan aktivitas fisik.
Seseorang yang tidak melakukan olahraga memiliki
resiko dua kali terkena penyakit kanker daripada seseorang yang aktif melakukan
olahraga. Olahraga berpotensi mencegah terjadinya osteoporosis secara dini dan
juga berdampak positif terhadap phychological
well-being seseorang (Brown, 2008). Peranan utama aktivitas fisik adalah
vaskularisasi atau pembentukan saluran-saluran darah lebih banyak. Dengan
demikian, walaupun seandainya ada serpihan lemak terlepas dan menyumbat
pembuluh darah, masih banyak pembuluh darah di sekitarnya yang dapat mengalirkan
darah ke jaringan tubuh yang menderita akibat sumbatan sebelum kerusakan fatal (antara hidup dan
mati) terjadi (Cooper, 1982).
Kebiasaan melakukan aktivitas fisik dapat meningkatkan
status kesehatan, kualitas hidup, fungsi tubuh pada usia menengah dan
memperoleh keuntungan pencegahan dari berbagai penyakit non infeksi pada masa
tua. Brown, Burton, and Heesch (2007) melakukan penelitian longitudinal
terhadap kesehatan perempuan di Australia yang berusia 18-23 tahun (early life), usia 45-50 tahun (mid life), dan usia 70-75 tahun (older life).
Dari hasil penelitian tersebut dapat disampaikan
bahwa, pertama gaya hidup aktif pada masa kanak-kanak dan masa paruh baya
berguna untuk memperlambat menurunnya fungsi tubuh, pencegahan dari penyakit
kronik, dan hidup ketergantungan dari orang lain. Kedua, bagi mereka yang
semasa kanak-kanak terbiasa aktif namun pada masa paruh baya tidak aktif, maka
pada usia itu fungsi tubuhnya akan drastis menurun (lihat garis putus-putus
pada gambar di atas) mendekati batas kemampuan fungsi tubuh mereka yang tidak
memiliki gaya hidup aktif dan memiliki potensi yang sama terkena berbagai
penyakit kronis seperti mereka yang tidak memiliki gaya hidup aktif.
Promosi peningkatan kesehatan melalui penanaman gaya
hidup aktif tidak hanya penting untuk alasan peningkatan kualitas hidup dan
kesehatan seseorang, tetapi juga memberi dampak dimensi ekonomi. Kondisi tubuh
yang sehat menyebabkan seseorang memiliki resistensi yang lebih kuat terhadap
stress, berbagai penyakit degeneratif, dan dapat menjalani kegiatan sehari-hari
menjadi lebih bergairah, dan produktivitas akan semakin meningkat. Bagi mereka
yang memasuki usia lanjut, kebiasaan melakukan aktivitas fisik secara rutin
dapat menjaga kesehatan dan kebugarannya, mereka akan lebih siap menghadapi
usia tua, lebih mandiri, kuat dan ceria sehingga proses penuaan dapat
diperlambat.
Berbagai bukti dampak positif dari kebiasaan melakukan
aktivitas fisik inilah yang selanjutnya penekanan tujuan Pendidikan Jasmani
sedikit demi sedikit berubah. Tujuan Pendidikan Jasmani yang semula lebih
berorientasi untuk meningkatkan kebugaran jasmani dan penguasaan gerak menjadi
lebih berorientasi untuk menanamkan kesenangan dan kebiasaan melakukan
aktivitas fisik sepanjang hayat. Tujuan untuk meningkatkan kebugaran jasmani
dan penguasaan gerak untuk dapat berolahraga tetap diperhitungkan, namun lebih
ditempatkan sebagai dampak positif dari Pendidikan Jasmani.
3.
Penerapan Orientasi Kurikulum
Pendidikan Jasmani
Memaknai
secara lebih mendalam mengenai kompetensi sosial guru, pemikiran Ki Hajar
Dewantara yang menggunakan semboyan Tut Wuri Handayani, menempatkan pengajar
sebagai orang yang berada di belakang siswa, membimbing dan mendorong siswa
untuk belajar, memberi teladan, serta membantu siswa membiasakan dirinya untuk
menampilkan perilaku yang bermakna dan berguna bagi masyarakatnya.
Kurikulum
pendidikan olahraga (sport education) secara sempit. Maksudnya, setiap
guru penjas meyakini bahwa tugasnya di sekolah-sekolah adalah untuk memberikan
pengalaman dan penguasaan berbagai cabang olahraga formal kepada siswa.
Konsekuensi yang paling logis dari diadopsinya model kurikulum sport
education secara sempit tercermin dari dipertahankan dan diadopsinya secara
kuat prinsip-prinsip dan praktek pelatihan olahraga dalam kelas pendidikan
jasmani. Guru hanya melihat tugas utamanya adalah menjadikan anak sebagai calon
atlet yang tangguh, yang dalam proses belajar-mengajarnya tidak pernah
memperhatikan perbedaan individual yang tajam dari siswa-siswanya.
Bahkan
lebih jauh, guru pun seolah tidak terbuka inspirasinya untuk mengelola kelas
secara kreatif, menyediakan atmosfir yang menyenangkan anak, serta melupakan
kenyataan bahwa tidak semua anak tertarik pada cabang olahraga yang
dipelajarinya. Yang penting, guru sudah mengikuti prinsip pelatihan, yang
terdiri dari proses pemanasan formal, inti formal, dan penenangan yang formal. Dalam
istilah populer dewasa ini, guru melaksanakan tugasnya benar-benar bersandar
pada pendekatan pengajaran keterampilan formal. Barangkali pengadopsian
model pendidikan olahraga ini tidak akan menimbulkan masalah, jika sejak awal
penerapannya, guru penjas sendiri diberi bekal kompetensi yang memadai dalam
cara bagaimana model ini dapat diterapkan secara optimal.
Di
samping itu, isu kelemahan dalam program penjas tersebut tidak akan terlalu
marak, jika saja model pendidikan olahraga ini didukung oleh perlengakapan
serta pra-sarana olahraga yang memadai. Masalahnya menjadi lain, manakala
perhatian kepada program pendidikan jasmani di sekolah semakin berkurang,
sehingga perlengkapan dan sarana penunjang mata pelajaran penjas pun semakin
tidak diperhatikan.
Konsekuensi
lanjutan dari tidak tersedianya alat dan perlengkapan pembelajaran penjas di
sekolah-sekolah adalah tidak berdayanya guru untuk menyiasati tugas-tugas
kurikulernya, sehingga pembelajaran penjas yang bernuansa pendidikan olahraga
itu lebih banyak dilaksanakan seadanya.
Dengan
jumlah waktu aktif belajar yang rendah, apalagi guru tidak berusaha merubah
proses pembelajaran dan penyediaan tugas gerak yang kurang tepat, menyebabkan
pergerakan anak dalam melakukan tugas geraknya sangat lamban dan tidak intens,
sehingga kebugaran jasmani anakpun tidak berkembang sebagaimana mestinya.
Dengan jumlah waktu aktif belajar yang rendah dan alat yang tidak memadai,
menyebabkan jumlah ulangan dari tugas gerak yang dilaksanakan anak pun sangat
sedikit, sehingga keterampilan gerak anak tidak dapat dikembangkan secara
optimal.
Dengan
kondisi pembelajaran yang tidak menarik dan tidak menantang tersebut, tidak
mengherankan jika situasi pembelajaran akan bersifat monoton, sehingga
mendorong beberapa anak untuk mengabaikan tugas dan cenderung melakukan
perilaku yang menyimpang. Guru yang tidak peka, akan menangani perilaku
menyimpang tersebut dengan cara-cara represif, sehingga atmosfir pembelajaran
pun relatif tidak kondusif. Banyak anak yang akan merasa drop-out, dan hanya
sebagian kecil saja yang merasa berhasil. Akibatnya banyak anak yang semakin
tidak menyukai pelajaran pendidikan jasmani, dan dalam jangka panjang semakin
banyak yang tidak mendapat manfaat apa-apa dari program pendidikan jasmani yang
demikian.
Penutup
1.
Kesimpulan
Tidak diragukan lagi bahwa dampak utama Pendidikan
Jasmani terhadap fisik merupakan dampak Pendidikan Jasmani yang paling populer di masyarakat dan
diposisikan sebagai kontribusi unik dari Pendidikan Jasmani, yang meliputi:
kebugaran jasmani, keterampilan gerak, dan pengetahuan tentang kebugaran jasmani
dan keterampilan gerak, yang berujung pada pembentukan gaya hidup aktif dan
sehat sepanjang hayat. Dampak ini dikatakan unik karena dampak seperti ini
tidak didapatkan melalui mata pelajaran lain (Dauer, V. P. & Pangrazi, R.
P, 1992; Graham, G., Holt, S. A., Parker, M. 1993). Penekanan dampak fisik
(kebugaran, keterampilan gerak, dan gaya hidup aktif) dari Pendidikan Jasmani
ini berubah seiring dengan perkembangan tuntutan dan kebutuhan masyarakat.
2.
Saran
Pendidikan jasmani harus didukung
oleh perlengakapan serta pra-sarana olahraga yang memadai. Dimana perhatian
kepada program pendidikan jasmani di sekolah semakin berkurang, sehingga
perlengkapan dan sarana penunjang mata pelajaran penjas pun semakin kurang
diperhatikan. Akibatnya banyak anak yang semakin kurang menyukai pembelajaran
pendidikan jasmani disekolah.
Daftar Pustaka
Anshari, Endang Saifuddin. 1990.Ilmu, Filsafat dan Agama.Surabaya: Bina Ilmu
Ateng, Abdulkadir. 1989. Pengantar Asas-Asas dan Landasan Pendidikan Jasmani Olahraga dan
Rekreasi. Jakarta: Depdikbud, Dirjen Dikti.
Drijarkara, N. 1989. Filasafat Manusia. Yogyakarta: Kanisius
Gazalba, Sidi. 1973. Sistematika Filsafat. Jakarta: Bulan Bintang.
Gie, The Liang. 1991. Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Liberty.
Haag, Herbert. 1994. Theoritical Foundation of Sport Science as a ScintificDisipline. Schorndorf,
Federal Republic of Germany: Hofmann.
Hanurawan, F., Syam, M. N. &
Samawi, A. 2006. Filsafat Pendidikan. Malang: Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Malang.
Kattsoff, Louis O. 1992. Pengantar Filsafat. Terjemahan oleh Soejono Soemargo. Yogyakarta: Tiara Wacana.
McNamee, M. 2002. Resource
Guide to Philosophy of Sport. London: Hospitality, Leisure, Sport and
Tourisme Network.
Poedjiadi, Anna. 1987. Sejarah dan Filsafat Sains. Jakarta: Depdikbud, Dirjen Dikti.
Saifullah, Ali. 1977. Antara Filsafat dan Pendidikan, Pengantar Filsafat Pendidikan. Surabaya:
Usaha Nasional.
Setijadji. tanpa tahun. Prolegomena Filsafat Olahraga. tanpa penerbit.
Wuest, Deborah A. dan Bucher, Charles A. 1995. Foundations of Physical Education and Sport
(twelfh edition)t. St. Louis: Mosby-Year Book, INC.
http://www.kabarguruku.com/2014/06/makala-pendidikan-olahraga-sekolah.html,
di akses 10 November 2015 pukul 19.28 WIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar