Agresivitas
Dalam Olahraga
Oleh Kelompok 7
Yuliart Apri Anggoro, Wahyu Aprilliansyah
dan M. Ali Mirwansyah.
(Program Pasca Sarjana Unsri Pendidikan Olahraga)
Abstrak: Sifat agresif hanyalah merupakan salah satu sifat dari
individu. Kecenderungan sifat agresif pada pemain menjadi tindakan yang positif
dan dibutuhkan untuk memenangkan pertandingan atau bisa sebaliknya bisa merusak
dan menjadi tindakan destruktif, sangat bergantung dari sifat-sifat dan
kepribadian lainnya yang ada pada indivdu tersebut.
Kata Kunci :
Agresif dan
Olahraga
Pendahuluan
Agresifitas
adalah istilah umum yang di kaitkan dengan adanya perasaan –perasaan marah atau
permusuhan atau tindakan melukai orang lain baik dengan tindakan kekerasan
secara fisik, verbal maupun menggunakan ekpresi wajah dan gerakan tubuh yang
mengancam atau merendahkan. Tindakan agresif pada umumnya merupakan tindakan
yang di sengaja oleh pelaku untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Ada 2 tujuan
utama agresif yang saling bertentangan satu dengan yang lain, yakni untuk
membela diri di satu pihak dan di pihak lain adalah untuk meraih keunggulan
dengan cara membuat lawan tidak berdaya.
Agresifitas yang wajar. T idak setiap tindakan agresif
merupakan perilaku yang bermasalah. Agresif mungkin muncul sebagai pelampiasan
perasaan marah dan frustasi. Bila agresifitas muncul karena kondisi psikologis
yang bersifat temporer dan dipahami berdasarkan konteks situasi yang dihadapi
anak maka itu merupakan tindakan yang masih bisa diterima. Justru
ketidakmampuan seorang anak untuk mengekspresika dorongan agresif pada situasi-situasi
tertentu merupakan indikasi adanya permasalahan perkembangan pada dirinya.
Mungkin itu merupakan akibat dari mekanisme hambatan yang berlebihan yang
secara psikologis tidak terlalu sehat untuk perkembangan selanjutnya. Agresifitas
yang tidak wajar. Namun ada kecenderungan agresifitas yang bersifat menetap
pada anak tertentu. Secara umum kecenderungan ini menandakan kepribadian yang
agresif. Ini menandakan kepribadian yang agresif merupakan perkembangan
kepribadian. Dampak negatif pada diri sendiri dan pada lingkungan cukup
serius.
Individu
yang memiliki emotional instability yang tidak mudah marah, mudah benci,
mudah kecewa, mudah bingung, mudah kesal, dsb. Karena emosinya mudah terombang
ambing, maka gejala emosional tersebut akan mengganggu fungsi jiwa yang lain.
Sebagaimana diketahui bahwa jiwa kita merupakan kesatuan yang organis, dimana
sumber kemampuan jiwa yang satu dapat mempengaruhi sumber kemampuan jiwa yang
lain. Karena itu goncangan emosional akan mempengaruhi pertimbangan akal, sehingga
individu tersebut akan bertindak tidak sesuai dengan akal sehat.
Individu
yang menunjukkan gejala kematangan emosional atau “emotional maturity ”
dapat meredam goncangan-goncangan emosional sehingga dapat tenang, dan dapat
menjalankan fungsi akalnya dengan baik.Secara umum, individu yang memiliki
kemarahan tinggi tiga kali lebih mungkin untuk mengembangkan angina atau
serangan jantung dibandingkan orang yang memiliki kemarahan rendah, bahkan
setelah pengaruh berisiko seperti faktor genetik, alkohol, berat badan,
kolesterol, hipertensi dan merokok diperhitungkan pada rendah -kemarahan
individu. Hal ini mencerminkan pengalaman banyak psikolog dan dokter yang
menemukan korelasi langsung antara risiko kesehatan secara keseluruhan dan
kemarahan intens. Secara umum, individu yang memiliki sikap bermusuhan berisiko
tinggi menderita penyakit lain juga. Hal ini terjadi karena alasan seperti
kesenangan untuk perilaku berisiko dan peningkatan aktivitas biologis ketika
sangat marah dan mengalami dukungan sosial yang rendah.
Suasana
kompetisi dan kelas pendidikan jasmani dan olahraga kerap kali menjadi media
potensial yang mendorong perilaku terjadinya perilaku agresif. Perilaku ini
dalam kadar yang sesuai sangat perlu dimiliki oleh para pemain untuk dapat
memenangkan pertandaingan misalnya pertnadingan sepak bola, tinju dan
lain-lain. Tetapi jika berlebihan dan tidak terkendali dapat menjurus pada
tindakan-tindakan yang tidak diinginkan, berbahaya, mencederai lawan, melanggar
peraturan, tidak fair play, bahkan dapat berakibat fatal. Tindakan agresif
tidak sama peluangnya pada setiap cabang olahraga dan setiap atlet.
Beberapa
rekomendasi untuk upaya mengendalikan agresifitas antara lain :
a)
Teknik time out.
b)
Memberikan pemahaman dan contoh perilaku non agresif
sebagai metode konstruktif untuk memecahkan masalah.
c)
Menciptakan atau mendesain lingkungan belajar atau
lingkungan latihan yang kondusif.
d)
Memberikan latihan empati.
Pembahasan
Perilaku Agresif dalam Olahraga
Orang yang
agresivitasnya kurang terkontrol kemungkinan lebih besar melakukan tindakan
kriminal kekerasan, karena ia tidak bimbang melakukan kekerasan pada waktu
marah. Dalam upaya memahami agresivitas, Worchel dan Cooper (1970) mengemukakan
kasus Charles J. Whitman pada usia 12 tahun ia adalah pandu garuda, kemudian
menjadi pitcher time base ball disekolah gereja dimana dia bergabung. Ia
dikenal sebagai pemuda yang menyukai anak-anak kemudian menjadi mahasiswa
jurusan teknik arsitektur. Dilaporkan oleh majalah Newsweek, pada tanggal 5
Agustus 1966. Ia telah membantai 13 orang dan melukai 31 orang di menara
Universitas Texas dengan senjata revolver sebelum ditembak oleh polisi. Whitman
sebelumnya telah membunuh isteri dan ibu kandungnya.
Perlu diketahui bahwa Whitman dibesarkan dalam
keluarga yang diliputi situasi penuh ketegangan, Ayahnya seorang perfeksionis,
dan berdisiplin serta selalu menuntut anaknya mengerjakan sesuatu yang besar,
serta tidak jarang member hukuman apabila anaknya tidak menurut. Dari kasus
diatas bias dilihat bahwa Whitman memiliki kepribadian yang agresivitasnya
selalu dikontrol dengan ketat, dapat diduga bahwa ia selalu mengontrol tingkah
laku namun selama itu rasa marah dan kecewa terus berkembang dalam dirinya
sehingga tidak terkendali dan akhirnya meledak yaitu dalam bentuk tindakan ekstrim
berupa kekerasan.
Lebih lanjut
Worchel dan Cooper membedakan dua tipe kepribadian yaitu (1) yang
agresifitasnya kurang terkontrol dan (2) yang agresivitasnya selalu dikontrol
dengan ketet.ipe kepribadian yang agresivitasnya kurang terkontrol menunjukkan
kurangnya larangan terhadap pengungkapan tingkah laku agresif dan kecenderungan
untuk mengadakan respons terhadap frustasi dan tindakan agresif. Tipe
kepribadian yang agresivitasnya selalu dikontrol ketat, menunjukkan adanya
kontrol yang ekstrim kuat terhadap pengungkapan agresivitas dalam berbagai
kondisi.
Tindakan
agresif cenderung terjadi pada situasi yang tidak seimbang atau berlawanan.
Pada atlet umumnya terikat pada beberapa kelompok social, seperti keluarga,
sekolah, teman latihan, teman bergaul dan sebagainya. Tindakan agresif akan
tertuju pada orang yang tidak disenangi atau yang berlawanan. Misalnya atlet
dimarahi oleh pelatihnya dia tidak berani melawan pelatihnya tetapi dia akan
bertindak agresif dengan menyerang temannaya atau lawannya.
Pemain yang
agresif pada situasi tertentu sangat diperlukan untuk dapat memenangkan
pertandingan. Seperti dalam sepak bola, bela diri dan sebagainya. Tetapi
sifat-sifat agresif tersebut apabila tidak terkendali justru dapat
menjerumuskan dan mengarah pada tindakan-tindakan berbahaya misalnya melukai
lawan, melanggar peraturan serta mengabaikan sportivitas.Niat untuk menyerang
secara agresif tidak disertai rasa marah. Tindakan agresif demikian jelas bukan
disebabkan oleh karena frustasi. Tindakan agresif yang bukan karena frustasi
diantaranya dapat terjadi berupa gejala-gejala :
1.
Tindakan agresif instrumental ialah Tindakan agresif
yang tidak disertai rasa marah.
2.
Tindakan agresif karena meniru, misalnya tindkan
agresif karena meniru tokoh gangster yang suka menyerang dan melukai orang
lain.
3.
Tindakan agresif atas dasar perintah, sering terjadi
dalam olahraga bela diri misalnya karena inisiatif menyerang akan mendapat
penilaian lebih dari wasit.
4.
Tindakan agresif dalam hubungannya dengan peran sosial,
dapat dilihat pada tindakan agresif yang dilakukan penjaga keamanan yang harus
bertindak tegas dan jika perlu dengan
kekerasan.
5.
Tinddakan agresif karena pengaruh kelompok, pengaruh
penonton atau tim juga dapat merangsang dan menimbulkan gejala agresif.
Tindakan agresif pemain karena pengaruh penonton sering terjadi. Hal ni dapat
dilihat bagaimana tindakan dia sebagai bagian dari kelompok dan tindakan dia
manakala dia bertindak sendiri.
Dari uraian
tersebut maka dapat dikemukakan bahwa tindakan agresif seseorang atau atlet
tidak harus dihubungkan dengan gejala frustasi. Kita membutuhkan pemain yang
agresif untuk dapat memenangkan suatu pertandingan. Oleh karena itu, menjadi
kewajiban pembina dan pelatih untuk memanfaatkan sifat-sifat agresif dari
atletnya sehingga dapat tersalur dan terarah sesuai dengan aktivitas olahraga
yang diikutinya.
Pengendalian Agresivitas dalam Olahraga
Sifat
agresif yang dimiliki pemain yang juga memiliki kesetabilan emosional,
disiplin, rasa tanggung jawab yang besar, tidak akan menjadi masalah dalam
pengarahannya. Pelatih dapat menyiapkan atlet tersebut untuk bermain agresif
dengan tidak perlu khawatir bahwa ia akan melukai lawan dan bertindak
desttruktif dalam upaya untuk mencaoai tujuan atau memenangkan pertandingan.
Dengan memberikan dorongan, pemberian stimulus yang positif dan sebagainya.
Atlit akan bermain agresif tanpa mengalami frustasi.
Bertitik
tolak dari “social-learning Theory”yaitu
pemain akan meniru dan belajar dari pengalaman pemain lainnya maka pelatih
harus menyiapkan pemain dengan petunjuk dan langkah praktis sebagai berikut :
1.
Anjuran untuk bermain agresif harus terarah, kapan da
bagaimana cara yang tepat agar tidak menimbulkan hal-hal negative dan melukai
lawan.
2.
Bermain agresif harus disertai peningkatan penguasaan
diri agar dapat selalu mengontrol diri sendiri.
3.
Bermain agresif harus disertai disiplin dan rasa
tanggung jawab, yaitu selalu mematuhi peraturan dan tunduk pada keputusan wasit
serta dapat mempertanggungjawabkan tindakannya.
4.
Perlu adanya pemberian penghargaan bagi mereka yang
bertindak agresif tetapi tidak melukai lawan, memelihara sportivitas dan
sebaliknya berikan hukuman apabila berusaha melukai lawan atau tindakan tercela
dan melanggar peraturan.
Dalam upaya
mengendalikan tindakan kekerasan atau agresivitas yang menyimpang, dikemukakan
Richard H. Cok sebagai berikut :
1.
Atlet-atlet mudah harus sudah diberi pengetahuan
tentang contoh tingkah laku non agresif, penguasaan diri, dan penampilan yang
benar.
2.
Atlet yang terlibat tindakan agresif harus dihukum.
Harus disadarkan bahwa tindakan agresif dengan melukai lawan adalah tindakan
yang tidak dibenarkan.
3.
Pelatih yang memberi kemungkinan para atlet terlibat
dengan kekerasan harus ditelitih dan harus dipecat dari tugasnya sebagai
pelatih.
4.
Pengaruh dari luar yang memungkinkan terjadinya
tindakan agresif dengan kekerasan dilapangan pertandingan harus dihindari.
5.
Para pelatih dan wasit didorong dan dianjurkan untuk
menghindari lokakarya-lokakrya yang membahas tindakan agresif dn kekerasan.
6.
Disamping hukuman terhadap tindakan agresif dengan
kekerasan atlet harus didorong secara positif meningkatkan kemampuan bertindak
tenang menghadapi situasi-situasi emosional.
7.
Penguasaan emosi menghadapi tindakan agresif dengan
kekerasan harus dilatih secara praktis antara lain melalui layihan mental
Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Agresivitas
1.
Sosial
Frustasi,
terhambatnya atau tercegahnya upaya pencapaian tujuan kerap menjadi penyebab
agresi. Tetapi agresi tidak selalu muncul karena frustasi. Manusia, misalnya
petinju dan tentara, dapat melakukan agresi karena alasan lain. ( Miller dalam
Sarlito, 2009:152) Provokasi verbal atau fisik adalah salah satu penyebab
egresi. Contohnya, kasus Zinedine. Manusia cenderung untuk membalas denga
derajat yang sama atau sedikit lebih tinggi daripada yang diterimanya ( balas
dendam ). Menyepelekan dan sombong adalah prediktor yang kuat bagi munculnya
agresi (Sarlito, 2009).
Faktor
sosial lainnya adalah alkohol (Baron dan Byrne, 2003). Kebanyakan hasil
penelitian yang terkait dengan konsumsi alkohol menunjukkan agresivitas.
Misalnya, kawasan Timur Indonesia mencatat banyak kekerasan, khususnya di
Manado. Mengungkapkan bahwa masyarakat menehag ke atas yang emngkonsumsi
alkohol tidak selalu menunjukkan agresivitas, tetapi pada masyarakat ekonomi
rendah sebaliknya. Mereka melakukan tindakan kekerasan, menghadang mobil, memalak,
melempari rumah dengan betu, dan sebagainya. Akan tetapi dilakukan secara
kolektif, karena bentuk kebudayaan mereka yang berkumpul-kumpul.
2.
Personal
Pola
tingkah laku berdasarkan kepribadian ada dua pola agresi berdasarkan
kepribadian (Sarlito, 2009):
a. Hostile
aggression
merupakan
agresi yang bertujuan untuk melukai atau menyakiti korban, yang melakukan pola
ini biasanya adalah orang-orang dengan karakter terburu-buru dan kompetitif.
b. Instrumental
aggression,
yaitu
tingkah laku agresif yang dilakukan karena ada tujuan utama dan tidak di
tujukan untuk melukai atau menyakiti korban. Yaitu mereka yang mempunyai
karakter sabar, kooperati, nonkompetisi, dan nonagresif, cenderung melakukan.
Hal dasar lain yang harus
diperhatikan adalah narsissm, bahwa orang narsis memiliki tingkat agresif yang
lebih tinggi (Bushman, dalam Sarlito, 2009:153). Demikian juga dengan perbedaan pada jenis kelamin. Diungkapkan
bahwa lelaki lebih agresif daripada perempuan (Haris dalam Sarlito, 2009:154).
Sedangkan pada anak perempuan agresivitas diwujudkan secara tidak langsung.
3.
Kebudayaan
Lingkungan
geografis, seperti pesisisr/pantai, menunjukkan karakter lebih keras dari pada
masyarakat yang hidup di pedalaman. Nilai dan norma yang mendasari tingkah laku
masyarakat juga berpengaruh terhadap agresivitas suatu kelompok.
4.
Situasional
Penelitian
terkait dengan cuaca dan tingkah laku menyebutkan bahwa ketidaknyamanan akibat
panas menyebabkan kerusuhan dan bentuk agresi lainnya (Harries dalam Sarlito,
2009:155).
5.
Sumber
Daya
Manusia
senantiasa ingin memenuhi kebutuhannya. Daya dukung alam terhadap kebutuhan
manusia tak selamanya mencukupi, sehingga perlu upaya lebih untuk memnuhi
kebutuhan. Dua kemungkinan besar yang dapat dilakukan adalah mencari sumber
pemenuhan kebutuhan lain dan mengambil paksa dari pihak yang memiliknya (Sarlito,
2009)
6.
Media
Massa
Khusus
untuk media massa televisi yang merupakan media tontonan dan secara alami
mempunya kesempatan lebih bagi pemirsanya untuk mengamati apa yang disampaikan
dengan jelas. Sesuai dengan teori bandura, pemirsa melakukan pengamatan atas
kekerasan dan meningkatkan agresifitas setelah itu (Sarlito, 2009)
Penelitian
oleh Tiffany, dkk (2008) juga menyimpulkan bahwa orang yang menonton
sebagian besar program dengan gambar pertempuran atau yang kekerasan juga akan
mendapatkan kesulitan di sekolah lebih dari tiga kali dalam setahun. Hal ini
menunjukkan bahwa anak yang menyaksikan kekerasan di televisi sebagai dapat
mempengaruhi tindakan agresif dalam cara yang negatif.
7.
Kekerasan
Rumah Tangga
Anak-anak
menjadi rentan terhadap kekerasan karena posisi sosialnya dalam masyarakat yang
tergantung pada orang tua. Kekerasan dalam rumah tangga banya kterjadi pada
anak-anak dan perempuan. Setidaknya kekerasan pada perempuan dibagi menjadi
tiga golongan, yaitu pelecehan seksual, kekerasan seksual, dan pemerkosaan (Sarlito,
2009) Dalam prespektif biologis, prilaku agresif didasarkan oleh kedua hal
berikut ini:
a.
Hormon
Hormon
yang dimaksud di sini adalah hormon androgen dan testosteron. Secara kebetulan
hormon ini terdapat paling banyak pada laki-laki. Penilitian longitudinal
baru-bari ini terhadap 96 remaja pria 12 hingga 21 tahun, menemukan bahwa
mereka yang memiliki catatan kriminal lebih tinggi dalam kadar testosteronnya
pada usia 16 tahun ( Bokhven dalam Laura, 2012:194).
Tingkat
testosteron yang lebih tinggi juga dikaitkan dengan tingkat agresi yang lebih
tinggi dan perilaku kenakalan yang dilaporkan sendiri. Tingkat testosteron
dipengaruhi oleh prilaku dan pengalaman; dengan demikian, perilaku dengan cara
yang agresif dapat meningkatkan testosteron seseorang (Sarlito,2009).
Dalam
penelitian lain, subjek penelitian dapat dianggap agresif bahkan jika mereka
tidak terlibat langsung. Misalnya, mereka tidak benar-benar memukul muka
seseorang. Setiap individu mempunyai kesempatan untuk “ agresif “ terhadap
orang lain, dengan memberikan seseorang ledakan suara yang keras, menyiapkan
sengatan listrik yang ringan, atau memberi dosis saos cabe yang besar pada
makanan seseorang ( Laura,2012).
b.
Otak
Bagian
dari otak disebut hipotalamus terkait dengan tingkah laku agresi. Hipotalamus
adalah bagian kecil dari otak yang terletak di bawah otak. Berfungsi untuk
menjaga homeostatis serta membentuk dan mengatur tingkah laku vital, seperti
makan, minum, dan hasrat seksual. Sebuah penilitian oleh Albert ( dalam
Sarlito,2009;150 ) menemukan bahwa tumor yang tumbuh di bagian hipotalamus
memicunya.
Sebuah
otopsi mengungkapkan sebuah tumor di dalam sistem limbik otak Withman, suatu
wilayah yang dikaitkan dengan emosi, mendorong reaksi ia untuk memanjat ke
puncak menara kampus, lalu membunuh 15 orang dan kemudian bunuh diri. Dalam
situasi lainnya, sebuah elektroda ditanamkan pada amigdala seorang pasien
kejiwaan yang lembut. Segera setelah arus listrik merangsang amigdala,
perempuan tersebut menjadi kasar. Ia berteriak , menggeram, dan memukul-mukul (
King dalam Laura,2012:194 )
Mengurangi
Agresivitas
Sebagai manusia, peluang utuk mengendalikan agresi
sangatlah ada. Hal ini mungkin karena manusia memiliki fungsi-fungsi kognisi
yang lebih baik dari hewan. Berikut beberapa cara mengatasi
agresivitas menurut Sarlito (2009):
1.
Pengamatan tingkah laku yang baik
Keterpaparan seseorang dari agresivitas melalui
televisi sangat banyak. Jika televisi banyak menampilkan teladan-teladan yang
baik, maka dapat memberikan gambaran kegiatan non-agresi. Pemilihan tontonan
untuk anak dan bimbingan orang tua sekiranya perlu dilihat peruntukan acara
tersebut, seperti BO adalah untuk bimbingan orang tua.
2.
Hukuman
Sejarah manusia mencatat lebih banyak hukuman sebagai
cara penanganan atas agresivitas. Hal ini bisa dilihat mulai dari agresivitas
yang dilakukan individu hingga oleh institusi Negara. Pada individu, pelaku
melakukan kekerasan seperti pemerkosaan dan pembunuhan akan dihukum hukuman
penjara atau hukuman mati. Namun tetap saja agresivitas muncul. Hal yang paling
penting dalam penggunaan hukuman adalah hukum harus jelas dan segera mungkin
mengikuti agresivitas yang dilakukan. Hukuman yang diberikan haruslah amat
keras sehingga mengurangi kemungkinan pengulangan oleh pelaku.
3.
Katarsis
Katarsis adalah upaya untuk menurunkan rasa marah dan
kebencian dengan cara yang lebih aman sehingga mengurangi bentuk agresivitas
yang sekiranya akan muncul. Umumnya katarsis berupa kegiatan fisik yang
menguras tenaga seperti olahraga, atau menonton film laga. Namun agresi bisa
muncul jika adanya provokasi.
4.
Kognitif
Ketika seseorang melakukan kesalahan pada orang lain,
maka tak ayal jika orang lain yang dizalimi akan marah. Namun, bagaimana dengan
seseorang yang dizalimi bisa memaafkan. Hal ni bisa terjadi ketika kognisi orang yang dizalimi
diisi dengan informasi bahwa perlunya memaafkan orang yang menzalimi. Memaafkan
tentunya dengan tulus dan ikhlas. Hal ini bisa mengurangi agresivitas
5.
Penguatan
Pada
sebuah penelitian (Cole & Cole dalam Mayang, 2011) terhadap agresi anak
usia pra sekolah, penanganan perilaku agresif lebih efektif dengan memberikan
penguatan pada anak yang berprilaku non-agresif atau perilaku kooperatif dengan
memberikan perhatian, baik berupa waktu bermain lebih, memberikan mainan, atau
yang lainnya, serta mengabaikan anak yang menunjukkan perilaku agresif.
Mayang
(2011) dalam penelitiannya, mengajukan
penguatan tersebut dalam bentuk potongan gambar senyum bintang. Gambar bintang
berekspresi senyum akan diberikan pada anak yang dapat menjalankan ketentuan
yang telah ditetapkan, yakni tidak berprilaku agresif.
Penutup
Semua orang
mengerti bahwa tindakan agresif, adalah tindakan yang tidak terpuji, maka orany
yang memiliki keperibadian yang kuat tidak mudah untuk dipengaruhi untuk
berbuat agresif. Mereka yang mengalami “emotional enstability“ atau
ketidakstabilan emosi, karena perasaan marah dan perasaan negatif lainnya mudah
dipengaruhi, dan mudah mendominasi perasaan yang lainnya.
Agresi
berasal dari berbagai sumber seperti sosial, situasi, personal, kebudayaan,
media massa, sumber daya, serta kekerasan yang terjadi di rumah tangga. Agresi
dapat diatasi diantaranya dengan cara pengamatan atas hal yang baik, katarsis,
mengubah pola pikir, huukuman, dan penguatan.
Daftar Pustaka
Alwisol. 2004. Psikologi Kepribadian Edisi Revisi. Malang: Universitas Negeri
Malang.
Baron, R A, Dan Byrne. 2003. Psikologi
Sosial Jilid 2. Jakarta: Erlangga.
Cox H. Richard. 1985. Sport Psychology, Concepts And Aplication, Iowa: W.Mc. Brown,
Publishers Dubuque.
Husdarta. 2010. Psikologi
Olahraga. Bandung: Alfabeta.
Insani, Mayang C. 2011. Pengaruh Program Senyum Bintang terhadap
Penurunan Agresivitas Anak Usia Pra-Sekolah. RAP Journal. Vol. 2, No. 2, 143-152.
King, Laura A. 2012. Psikologi Umum: Sebuah Pandangan Apresiatif
Jilid 2. Jakarta: Salemba Humanika.
Sarwono, Sarlito W. 2009. Psikologi Sosial. Jakarta: Salemba
Humanika.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar